Pengakuan Dosa Si Topeng dan Benteng

Tiga belas tahun yang lalu, saya mulai mengenakan topeng. Ada puluhan topeng berbeda siap pakai, kapanpun saya butuhkan. Bentuk, ukuran, gurat, dan ukirannya sangat pas, persis wajah saya. Bobotnya yang ringan membuat saya tidak menemui banyak kesulitan saat mengenakan dan memainkannya. Sebelas tahun lamanya, nyaris tidak ada yang tahu bahwa apa yang mereka kira itu saya, sebenarnya hanyalah topeng.
Saya begitu ingin menjadi bagian dari orang-orang itu. Saya ingin mereka menerima saya karena saya tidak berbeda dengan mereka. Apakah itu salah saya, atau salah lingkungan yang saya masuki, saya tidak tahu. Tapi yang jelas, saat itu saya hidup di lingkungan yang mengutamakan konformitas. Peraturan utama dari prinsip konformitas adalah sama. Jadi, itulah yang saya lakukan: memakai bermacam-macam topeng untuk membuat saya menjadi sama.
Andai tubuh dan pikiran saya lebih tangguh, mungkin hingga saat ini pun saya masih akan mengenakan topeng. Dan mungkin, jumlah topeng koleksi saya akan jauh lebih banyak, dengan berbagai warna dan hiasan. Sayangnya saya sudah lelah. Mengenakan banyak topeng berbeda untuk banyak situasi berbeda ternyata justru membuat fisik dan mental saya frustasi.

Saya lelah mengenakan topeng “Saya suka pergi ke mall”,
padahal mall adalah sudut mati yang sama sekali tidak menarik.

Saya lelah mengenakan topeng “Saya suka mendengarkan ceritamu”,
padahal masih banyak pekerjaan yang lebih penting yang harus saya selesaikan.

Saya lelah mengenakan topeng “Saya menyukai pelajaran ini”,
padahal pelajaran ini begitu membosankan.

Saya lelah mengenakan topeng “Saya baik-baik saja”,
padahal saya hanya tidak ingin bercerita pada mereka karena mereka selalu meremehkan apa yang saya katakan.

Saya lelah mengenakan topeng “Saya suka bertemu mereka”,
padahal saya selalu tidak nyaman berada di dekat mereka.

Dua tahun yang lalu, saya baru benar-benar menyadari bahwa saya tidak menyukai semua yang ada pada topeng saya. Berpura-pura menyukai hal yang sebenarnya tidak saya sukai adalah munafik, dan saya membencinya. Saat itulah saya akhirnya memutuskan untuk menyingkirkan semua topeng yang saya miliki. Sebagai gantinya, saya mulai mengumpulkan material untuk membangun benteng.
Benteng yang saya bangun begitu tebal, tinggi, dan keras. Benteng itu melingkari seluruh diri saya, dan sengaja hanya saya beri sedikit celah di bagian atap untuk tempat masuk cahaya. Orang-orang yang dulu menganggap saya sama seperti mereka, menjadi terheran-heran saat mendapati saya telah berubah. Menjadi begitu dingin, jauh, dan diam. Mereka mengetuk dan memukul dinding benteng saya beberapa kali. Tapi saya tidak menyahut karena saya tidak bisa mendengar mereka. Didorong rasa penasaran, mereka lalu terengah-engah merangkak naik. Mereka memanggil saya dari celah kecil di atap benteng, saya mendengar, dan saya memberikan jawaban singkat yang terbatas. Celah itu sangat kecil, mereka tak bisa masuk, saya tak bisa keluar, dan begitu tinggi di atas hingga mereka hanya mendengar sekilas apa yang saya katakan. Mereka kesal, kecewa, lalu pergi meninggalkan saya dan berjanji tak akan kembali karena begitu sulit mencapai tempat saya berada.
Saya tersenyum. Saya bisa tenang, saya bisa melakukan apa saja yang saya inginkan di dalam benteng ini tanpa ada gangguan dari mereka. Saya bisa menjadi diri saya sendiri tanpa ada intervensi dari mereka. Kalau saya tidak menyukai sesuatu, maka saya bebas tidak melakukan sesuatu itu tanpa ada yang bisa melukai saya karena orang-orang itu terhalang benteng. Kalau ada di antara mereka yang menarik rasa ingin tahu saya, maka saya akan membongkar satu batu dari susunan benteng saya sehingga saya bisa keluar dan menemui mereka sejenak. Bukan mereka yang masuk ke dalam benteng saya.
Benteng kokoh di sekeliling saya memberi perasaan aman, nyaman, tapi sekaligus juga rasa takut. Tidak ada yang menolong saat api menjalar di bagian dalam benteng saya. Tidak ada yang menolong saat air menenggelamkan seluruh isi benteng saya. Tidak ada yang menolong saat rayap-rayap kejam menghancurkan perabot dalam benteng saya. Saya harus bersusah payah seorang diri membereskan itu semua. Banyak, banyak dari orang-orang itu yang masih peduli pada saya. Tapi mereka tidak mampu menolong saya karena saya tidak mengijinkan mereka memasuki benteng. Saya tidak ingin membuka benteng dan membiarkan mereka menolong, padahal sebelumnya saya selalu menarik diri saat mereka mendekat.
Saya menyukai sepi dan sendiri, tapi saya kemudian sadar, benteng bukanlah sesuatu yang bagus. Saya melewatkan banyak hal di luar benteng.
Saat ini, saya sedang berusaha meruntuhkan benteng untuk kemudian mencari benda lain yang sesuai untuk saya gunakan. Bagaimanapun, saya tidak mau tidak mengenakan apa-apa karena saya ingin menjaga sejumlah hal dalam diri saya agar tidak diketahui atau bahkan dicemari oleh orang lain.

Blog ini adalah cara pertama yang saya gunakan untuk meruntuhkan benteng.

“Jangan pernah mengharap orang lain bersusah payah memanjat benteng di sekelilingmu kalau kau tak mau membukanya dan membiarkan mereka masuk.”

0 Response to "Pengakuan Dosa Si Topeng dan Benteng"

Post a Comment