Saya sedang Mencari Cita-cita

Semakin saya besar, semakin saya bingung menjawab pertanyaan, “Apa cita-citamu?

Sejak usia 8 tahun, saya sudah menetapkan diri akan menjadi wartawan perang. Wartawan yang terjun langsung ke tengah baku tembak, yang hidup di kamp-kamp militer, yang kesulitan mencari akses internet untuk mengirimkan berita ke Nusantara, yang berlarian kesana kemari menghindari peluru atau mengejar pemimpin pasukan untuk diwawancara. Sampai saya duduk di tahun akhir SMP, ditawan oleh pasukan militer masih menjadi bayangan menarik yang saya impi-impikan (sebenarnya, hingga saat ini pun masih begitu).

Impian itu rontok ketika saya masuk SMA. Di situ, saya baru benar-benar menyadari bahwa perang tidak membawa keuntungan apapun. Banyak orang berharap perang berhenti, tapi kenapa saya malah ingin menjadi bagian dari perang itu sendiri? Kalau saya terus berusaha mewujudkan cita-cita saya saat itu, berarti secara tidak langsung saya mengharapkan akan muncul perang, perang, dan perang lagi, agar bisa saya liput. Kalau tidak ada perang, maka tidak ada yang namanya wartawan perang, dan berarti cita-cita saya tidak tercapai.

Saya membenci perang, jelas. Tapi membayangkan berbagai ketegangan yang akan menyertai proses peliputan perang memberikan semangat tersendiri dalam diri saya. Apakah ini berarti saya bersenang-senang di atas penderitaan para korban perang? Sungguh pemikiran yang mengerikan. Di kancah perang memang seorang wartawan “hanya” menjalankan tugas, bukan sebagai aktor. Meski begitu, tulisan Tim Lauren dari New York Times membuat saya berpikir ulang. Lauren yang saat itu bertugas meliput perang di Vietnam, sempat mendapat protes dari sejumlah kalangan karena keputusan kontroversialnya. Saat meliput, Lauren terjebak dalam baku tembak antara pasukan dan warga sipil yang berseteru. Hanya berjarak 5 meter di sampingnya, seorang serdadu memukuli warga sipil dengan membabi buta. Lauren sebenarnya bisa menghentikan itu karena sang serdadu tidak membawa senjata, tapi ia tidak melakukannya. Ia lebih memilih untuk memotret kejadian itu untuk mendapatkan gambar bagus yang disukai editornya dan kemudian dipasang di halaman depan. Warga sipil itu akhirnya tewas.

Dilema seperti itu adalah hal yang biasa bagi seorang wartawan. Kalau ia menolong, ia terancam “dihabisi” oleh editornya. Kalau tidak menolong, ia akan didera perasaan bersalah terus menerus. Saat saya membayangkan berada di posisi demikian, barulah saya sadar bahwa pekerjaan itu tidak akan cocok untuk saya. Akihrnya saya hilangkan kata “perang”-nya, dan menetapkan diri untuk menjadi wartawan (saja).

Berangkat ke kantor naik sepeda, pergi meliput ke berbagai tempat, pulang ke rumah lalu mandi, duduk tenang sambil membaca buku dengan segelas kopi panas, lalu begadang menyelesaikan artikel sebelum deadline. Itu gambaran ideal saya tentang karir masa depan. Tapi lalu saya sadar bahwa saya hanya bisa mencapainya tanpa melibatkan keluarga, pasangan, atau anak. Kalau saya sudah berkeluarga, rasanya kecil kemungkinan saya bisa bersantai sendiri lalu begadang. Pekerjaan seorang wartawan yang memiliki jam kerja 24 jam selama 7 hari membuat saya harus selalu siap meninggalkan rumah kapan pun dibutuhkan. Lalu apa kabar keluarga saya?

Bukannya pesimis, tapi berdasarkan penuturan banyak wartawan senior, baik dari buku maupun dari penuturan langsung, memang begitulah pekerjaan wartawan. Salah satu quote dari fim The Devil Wears Prada yang artinya “Saat hubungan personalmu berantakan, berarti sudah saatnya kau mendapatkan promosi jabatan”, benar-benar menggambarkan bagaimana “kerasnya” profesi wartawan. Sebenarnya bukan masalah bagi saya karena menjadi wanita karir dan single adalah dua hal yang (cenderung) menjadi impian ideal saya (pada waktu itu). Bayangan menjadi wanita karir sibuk yang hidup sendirian di rumah atau apartemen dan memiliki waktu untuk pergi bersenang-senang dengan teman-teman lain benar-benar menyenangkan. Saya ingin seperti itu.

Tapi impian ideal saya itu lagi-lagi diuji oleh sebuah kalimat sederhana,
Memangnya hidup cuma untuk karir?

Kalimat itu diucapkan oleh seseorang yang kemudian menjabarkan impian idealnya pada saya. Mengurus anak, mengurus keluarga, bermain bersama anak, pergi bersama keluarga.. Ternyata ada yang lebih menyenangkan daripada duduk bersantai sendirian sambil membaca buku dan minum kopi.

Saya bukannya tidak berpendirian, bukannya tidak memiliki cita-cita yang teguh, bukannya tidak fokus untuk mencapai cita-cita saya. Tapi banyak pendapat yang masuk membuat saya sadar bahwa ada yang lebih baik dari apa yang saya kira terbaik. Banyak orang berkata, kalau ada niat, semua pasti bisa dijalani. Menjadi wartawan sekaligus ibu rumah tangga memang bukan hal yang mustahil, tapi diakui atau tidak, keduanya kurang bisa maksimal saat dilakukan bersamaan. Kalaupun bisa maksimal, tubuh pelakunya yang akan remuk, lelah luar biasa. Ini bukan excuse, saya telah melihat sendiri bagaimana padatnya jadwal seorang wartawan terutama yang sedang memantapkan posisi, serta bagaimana sibuknya mengurus rumah tangga. Kalau keduanya digabungkan, saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya.

Saya pernah “curhat” masalah ini pada seorang wartawan senior Kompas. Tanpa memberikan saran pasti, beliau hanya berkata, “Menjadi wartawan adalah panggilan jiwa. Jangan jadi wartawan kalau kamu mengejar harta, dan jangan jadi wartawan kalau kamu merasa berat untuk pergi ketika ada panggilan tugas.”

Setelah percakapan itu, saya memutuskan berganti cita-cita menjadi seorang dosen. Tapi semakin saya rasakan, semakin berkurang semangat dan antusiasme saya. Rasanya saya tidak benar-benar berada di jalur yang saya inginkan.

Kalau saat ini saya bingung dan bimbang, apakah ini berarti saya memang tidak fokus dan tidak berpendirian teguh?

Menjadi wartawan tetap jadi cita-cita impian saya, tapi saya juga ingin punya keluarga yang bahagia. Lebih dari itu, saya ingin bisa memerankan keduanya dengan maksimal.

Tapi mungkin memang saya harus melepas salah satunya. Bagaimanapun, saya hanya memiliki dua tangan. Saya tidak bisa menggenggam tiga hal sekaligus tanpa melepaskan salah satunya.

Maaf, Saya Belum Bisa Mencintaimu, Indonesia..

"Kakek, cinta tanah air itu omong kosong! Dan tanah air yang kumaksud di sini adalah Indonesia, tentu saja.

Oh, jangan menatapku seperti itu, Kek. Aku bicara apa adanya. Lihatlah kenyataan! Di zaman seperti ini, hanya tinggal segelintir orang yang benar-benar mencintai Indonesia dengan setiap hembus nafas dan tetes darahnya. Hanya segelintir dari ratusan juta penduduk. Tentu saja, yang segelintir itu tidak termasuk aku.

Memangnya cinta tanah air itu apa, Kek? Mengorbankan nyawa demi kemerdekaan Indonesia? Itu dulu, saat kakek masih tampan. Sekarang, mereka yang melakukan korupsi pun mengaku bahwa mereka cinta tanah air. Mereka yang duduk di pemerintahan selalu membanggakan tanah airnya, tapi bahkan Pancasila saja mereka tidak hafal! Para buruh pabrik menyatakan cinta tanah air, tapi ratapan mereka terus mengalir karena tanah air ‘menyakiti’ mereka. Yang mana yang cinta tanah air, Kek? Apakah berdemo menentang kebijakan pemerintah bisa dikatakan cinta tanah air? Apakah membakar bendera asing karena merebut hasil budaya kita bisa dikatakan cinta tanah air? Apakah bersorak-sorak saat atlit kebanggaan Indonesia menang bisa dikatakan cinta tanah air?

Belum, Kek! Itu hanya wujud cinta tanah air yang sangat kecil sekali, apalagi jika setelah itu mereka tetap menyontek saat pelajaran, tetap boros bensin dan listrik, tetap acuh tak acuh saat ada pertunjukan kebudayaan di hadapan mereka, dan tetap membuang sampah sembarangan.

Coba dengar, Kek, kita bisa pakai analogi ini: cinta tanah air tentunya tidak jauh berbeda dengan mencintai pacar kita kan? Toh sama-sama CINTA yang kita bicarakan.

Andaikan pacar Kakek sakit—ah, Kakek kan sudah tidak punya pacar. Kalau begitu, kuganti.

Andaikan pacarku sakit, maka aku akan memberinya semangat, mendampingi, dan merawatnya sampai sembuh. Aku melakukan sesuatu untuk membuatnya menjadi lebih baik. Itu karena aku mencintainya. Ketika tanah air ‘sakit’ dengan berbagai permasalahannya, maka orang yang mengaku cinta tanah air itu juga seharusnya melakukan sesuatu untuk membuat Indonesia menjadi lebih sehat kan? Bukan hanya mencemooh, menyindir, apalagi saling memaki di ruang sidang! Munafik, Kek.

Andaikan pacarku mengajakku ke toko buku, maka aku akan senang hati menemaninya meski aku bosan setengah mati. Itu karena aku mencintainya, Kek. Sama halnya ketika orang yang mengaku cinta tanah air dengan senang hati memilih datang ke museum kebudayaan daripada ongkang-ongkang kaki dan menghamburkan uang di mall sementara ratusan anak jalanan tidak setiap hari dapat mengunyah nasi.

Aku akan setia pada pacarku, meskipun ia memiliki banyak kekurangan. Tidak akan terpikir sedikitpun untuk memutuskan dia meskipun banyak laki-laki lain yang lebih menarik. Itu kalau aku memang benar-benar mencintai dia apa adanya. Orang-orang yang benar-benar mencintai Indonesia pun akan tetap bertahan demi cintanya, bukannya justru meninggalkan Indonesia demi negara lain yang lebih rupawan dan menghamba di sana.

Cinta yang sebenar-benarnya cinta adalah yang mampu membuat kedua pihak menjadi lebih baik. Ini tidak kutemukan di Indonesia, Kek. Lihatlah, masyarakat justru membuat tanah airnya menjadi lebih buruk. Mereka membuang sampah sembarangan. Dan ketika Indonesia memberi keburukan pada mereka melalui banjir dan tanah longsor, masyarakat mengamuk. Masyarakat menghambur-hamburkan BBM, dan ketika Indonesia memberi kelangkaan BBM, masyarakat juga mengamuk. Masyarakat menghidupkan televisi semalam suntuk, dan ketika tarif listrik naik demi mencegah kelangkaan, mereka mengamuk lagi. Ya ampun, Kek, aku hidup di negara gila macam apa ini? Orang-orang mengamuk karena tingkah mereka sendiri!

Aku tidak ingin munafik, Kek. Ada banyak alasan membuat kadar benciku pada tanah air lebih besar daripada kadar cintaku. Lihat artis yang menjual tubuhnya untuk masuk ke panggung politik. Lihat tabung gas hijau yang kini bisa dijadikan senjata para teroris, atau satpol yang kini bisa menembak rakyat dengan mudah. Lihat mahasiswa yang katanya berpendidikan tapi hobinya tawuran. Lihat koruptor kelas atas yang bahkan bisa facial di rumah tahanan. Lihat mobil polisi yang seharusnya berpatroli tapi malah mengawal pawai motor-motor raksasa membuat kemacetan di jalan. Lihat kanan kiri radius seratus meter, dan hitung berapa masalah yang muncul.

Aku memang tidak mengharapkan negara ini akan bebas seratus persen dari kesulitan—sangat mustahil. Tapi aku benar-benar kesal, Kek, luar biasa kesal dan gemas karena tiap hari muncul masalah nasional yang berkaitan dengan ketidakbecusan orang-orang di dalamnya. Bisa jadi termasuk aku sendiri, aku mengakui. Pemerintah tidak becus menjalankan amanah rakyat, tapi rakyatnya pun tidak becus melakukan perannya sebagai rakyat. Sungguh lingkaran setan yang menyesatkan.

Kakek tahu, satu keinginan terbesarku adalah meninggalkan negara ini, pindah ke negara lain yang lebih hebat, yang lebih pintar, dan lebih teratur.

Ya, ya, aku tahu kakek akan mengataiku tidak bertanggung jawab. Memang benar, tindakan itu bisa dikatakan menghindari masalah, dan bukan menghadapinya. Tapi apa yang bisa kulakukan, Kek? Aku sudah belajar giat, nilai-nilaiku menjadi bukti. Aku bersedekah, mendoakan seluruh rakyat Indonesia dalam ibadahku. Aku selalu memasang bendera merah putih saat perayaan kemerdekaan. Aku membayar pajak, aku tidak pernah mencuri, aku menaati rambu lalu lintas, aku membuang sampah pada tempatnya, aku ikut berbagai kegiatan bersama untuk berbagi dengan mereka yang membutuhkan, aku menulis di kolom-kolom surat kabar tentang keprihatinanku pada negeri, tapi semua tidak menghasilkan apa-apa, Kek! Anak-anak jalanan itu masih tetap tidur di trotoar, sementara rekening petugas penegak hukum yang agung justru makin menggelembung.

Ibaratnya aku seperti semut kecil di tengah kawanan gajah, yang meski pakai pengeras suara sebesar apapun, suaraku tetap tak akan terdengar. Aku berusaha mengajak kawan-kawan semutku untuk berteriak bersama-sama agar bisa terdengar lebih keras. Tapi mereka lebih memilih memanjat naik ke tubuh sang gajah, kemudian berbisik lirih di telinga gajah dan membiarkan sang gajah yang melolong. Kawan-kawan semutku terlalu malas untuk mengeluarkan tenaga untuk berteriak, mereka memilih cara yang mudah, cepat, instan, dan hasilnya lebih besar.

Aku marah pada mereka, tapi aku lebih marah pada diriku sendiri karena tidak bisa melakukan apa-apa.

Oh, aku lelah menyaksikan surat kabar makin hari makin tebal dengan berita-berita murahan. Aku ingin pergi, Kek, ke suatu negara yang orang-orangnya bisa berpikir waras. Oke, aku tahu itu, Kek. Maksud Kakek, setiap negara punya kelebihan dan kekurangan masing-masing kan? Seharusnya aku bersyukur hidup di negeri yang berbudaya ini kan? Aku tahu. Tapi, kenapa kita tidak bisa mencontoh kelebihan dari negara lain? Bukannya sesuatu yang baik itu seharusnya dicontoh, iya kan, Kek? Negara ini terlalu buta dan tuli untuk bisa menyadari bahwa kita butuh contekan dari negara lain. Negara kita terlalu sombong dan merasa superior karena sumber daya alam dan budaya yang diagung-agungkan. Tapi mana nyatanya, Kek? Dengan mudahnya hasil budaya kita direnggut bangsa lain. Bahkan beras pun kita harus impor. Sungguh memalukan.

Lalu aku harus apa, Kek? Apa yang bisa dilakukan oleh semut kecil sepertiku untuk mengubah padang rumput ini menjadi nyaman? Aku bukan orang yang cinta tanah air, Kek, tapi aku ingin mencintai tanah airku. Aku ingin mencintai tanah airku hingga aku bisa merasakan betapa meruginya mereka yang tidak dilahirkan di Indonesia. Cinta memang tidak bisa dipaksakan, tapi bisa dipelajari. Ajari aku bagaimana cara mencintai tanah airku sendiri, Kek. Ajari aku bagaimana aku dapat menumbuhkan rasa bangga menjadi orang Indonesia. Ajari aku bagaimana agar aku dapat meneteskan air mata haru saat aku menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.”

“Cucuku, kenapa kamu melelahkan dirimu untuk menghitung domba, sementara kamu bisa tertidur dengan mudah? Kenapa kamu melelahkan diri untuk bicara panjang lebar pada Kakek yang sudah renta ini, sementara kamu bisa dengan mudah melakukan sesuatu yang lebih berharga dari ini? Kenapa kamu melelahkan diri mengkritik mereka yang tidak becus, padahal kamu tahu mereka terlalu bodoh untuk berubah? Kenapa kamu melelahkan diri untuk memikirkan rasa takut akan gagalnya tindakanmu, padahal kamu belum pernah mencobanya sama sekali?”

Pengakuan Dosa Si Topeng dan Benteng

Tiga belas tahun yang lalu, saya mulai mengenakan topeng. Ada puluhan topeng berbeda siap pakai, kapanpun saya butuhkan. Bentuk, ukuran, gurat, dan ukirannya sangat pas, persis wajah saya. Bobotnya yang ringan membuat saya tidak menemui banyak kesulitan saat mengenakan dan memainkannya. Sebelas tahun lamanya, nyaris tidak ada yang tahu bahwa apa yang mereka kira itu saya, sebenarnya hanyalah topeng.
Saya begitu ingin menjadi bagian dari orang-orang itu. Saya ingin mereka menerima saya karena saya tidak berbeda dengan mereka. Apakah itu salah saya, atau salah lingkungan yang saya masuki, saya tidak tahu. Tapi yang jelas, saat itu saya hidup di lingkungan yang mengutamakan konformitas. Peraturan utama dari prinsip konformitas adalah sama. Jadi, itulah yang saya lakukan: memakai bermacam-macam topeng untuk membuat saya menjadi sama.
Andai tubuh dan pikiran saya lebih tangguh, mungkin hingga saat ini pun saya masih akan mengenakan topeng. Dan mungkin, jumlah topeng koleksi saya akan jauh lebih banyak, dengan berbagai warna dan hiasan. Sayangnya saya sudah lelah. Mengenakan banyak topeng berbeda untuk banyak situasi berbeda ternyata justru membuat fisik dan mental saya frustasi.

Saya lelah mengenakan topeng “Saya suka pergi ke mall”,
padahal mall adalah sudut mati yang sama sekali tidak menarik.

Saya lelah mengenakan topeng “Saya suka mendengarkan ceritamu”,
padahal masih banyak pekerjaan yang lebih penting yang harus saya selesaikan.

Saya lelah mengenakan topeng “Saya menyukai pelajaran ini”,
padahal pelajaran ini begitu membosankan.

Saya lelah mengenakan topeng “Saya baik-baik saja”,
padahal saya hanya tidak ingin bercerita pada mereka karena mereka selalu meremehkan apa yang saya katakan.

Saya lelah mengenakan topeng “Saya suka bertemu mereka”,
padahal saya selalu tidak nyaman berada di dekat mereka.

Dua tahun yang lalu, saya baru benar-benar menyadari bahwa saya tidak menyukai semua yang ada pada topeng saya. Berpura-pura menyukai hal yang sebenarnya tidak saya sukai adalah munafik, dan saya membencinya. Saat itulah saya akhirnya memutuskan untuk menyingkirkan semua topeng yang saya miliki. Sebagai gantinya, saya mulai mengumpulkan material untuk membangun benteng.
Benteng yang saya bangun begitu tebal, tinggi, dan keras. Benteng itu melingkari seluruh diri saya, dan sengaja hanya saya beri sedikit celah di bagian atap untuk tempat masuk cahaya. Orang-orang yang dulu menganggap saya sama seperti mereka, menjadi terheran-heran saat mendapati saya telah berubah. Menjadi begitu dingin, jauh, dan diam. Mereka mengetuk dan memukul dinding benteng saya beberapa kali. Tapi saya tidak menyahut karena saya tidak bisa mendengar mereka. Didorong rasa penasaran, mereka lalu terengah-engah merangkak naik. Mereka memanggil saya dari celah kecil di atap benteng, saya mendengar, dan saya memberikan jawaban singkat yang terbatas. Celah itu sangat kecil, mereka tak bisa masuk, saya tak bisa keluar, dan begitu tinggi di atas hingga mereka hanya mendengar sekilas apa yang saya katakan. Mereka kesal, kecewa, lalu pergi meninggalkan saya dan berjanji tak akan kembali karena begitu sulit mencapai tempat saya berada.
Saya tersenyum. Saya bisa tenang, saya bisa melakukan apa saja yang saya inginkan di dalam benteng ini tanpa ada gangguan dari mereka. Saya bisa menjadi diri saya sendiri tanpa ada intervensi dari mereka. Kalau saya tidak menyukai sesuatu, maka saya bebas tidak melakukan sesuatu itu tanpa ada yang bisa melukai saya karena orang-orang itu terhalang benteng. Kalau ada di antara mereka yang menarik rasa ingin tahu saya, maka saya akan membongkar satu batu dari susunan benteng saya sehingga saya bisa keluar dan menemui mereka sejenak. Bukan mereka yang masuk ke dalam benteng saya.
Benteng kokoh di sekeliling saya memberi perasaan aman, nyaman, tapi sekaligus juga rasa takut. Tidak ada yang menolong saat api menjalar di bagian dalam benteng saya. Tidak ada yang menolong saat air menenggelamkan seluruh isi benteng saya. Tidak ada yang menolong saat rayap-rayap kejam menghancurkan perabot dalam benteng saya. Saya harus bersusah payah seorang diri membereskan itu semua. Banyak, banyak dari orang-orang itu yang masih peduli pada saya. Tapi mereka tidak mampu menolong saya karena saya tidak mengijinkan mereka memasuki benteng. Saya tidak ingin membuka benteng dan membiarkan mereka menolong, padahal sebelumnya saya selalu menarik diri saat mereka mendekat.
Saya menyukai sepi dan sendiri, tapi saya kemudian sadar, benteng bukanlah sesuatu yang bagus. Saya melewatkan banyak hal di luar benteng.
Saat ini, saya sedang berusaha meruntuhkan benteng untuk kemudian mencari benda lain yang sesuai untuk saya gunakan. Bagaimanapun, saya tidak mau tidak mengenakan apa-apa karena saya ingin menjaga sejumlah hal dalam diri saya agar tidak diketahui atau bahkan dicemari oleh orang lain.

Blog ini adalah cara pertama yang saya gunakan untuk meruntuhkan benteng.

“Jangan pernah mengharap orang lain bersusah payah memanjat benteng di sekelilingmu kalau kau tak mau membukanya dan membiarkan mereka masuk.”