Maaf, Saya Belum Bisa Mencintaimu, Indonesia..

"Kakek, cinta tanah air itu omong kosong! Dan tanah air yang kumaksud di sini adalah Indonesia, tentu saja.

Oh, jangan menatapku seperti itu, Kek. Aku bicara apa adanya. Lihatlah kenyataan! Di zaman seperti ini, hanya tinggal segelintir orang yang benar-benar mencintai Indonesia dengan setiap hembus nafas dan tetes darahnya. Hanya segelintir dari ratusan juta penduduk. Tentu saja, yang segelintir itu tidak termasuk aku.

Memangnya cinta tanah air itu apa, Kek? Mengorbankan nyawa demi kemerdekaan Indonesia? Itu dulu, saat kakek masih tampan. Sekarang, mereka yang melakukan korupsi pun mengaku bahwa mereka cinta tanah air. Mereka yang duduk di pemerintahan selalu membanggakan tanah airnya, tapi bahkan Pancasila saja mereka tidak hafal! Para buruh pabrik menyatakan cinta tanah air, tapi ratapan mereka terus mengalir karena tanah air ‘menyakiti’ mereka. Yang mana yang cinta tanah air, Kek? Apakah berdemo menentang kebijakan pemerintah bisa dikatakan cinta tanah air? Apakah membakar bendera asing karena merebut hasil budaya kita bisa dikatakan cinta tanah air? Apakah bersorak-sorak saat atlit kebanggaan Indonesia menang bisa dikatakan cinta tanah air?

Belum, Kek! Itu hanya wujud cinta tanah air yang sangat kecil sekali, apalagi jika setelah itu mereka tetap menyontek saat pelajaran, tetap boros bensin dan listrik, tetap acuh tak acuh saat ada pertunjukan kebudayaan di hadapan mereka, dan tetap membuang sampah sembarangan.

Coba dengar, Kek, kita bisa pakai analogi ini: cinta tanah air tentunya tidak jauh berbeda dengan mencintai pacar kita kan? Toh sama-sama CINTA yang kita bicarakan.

Andaikan pacar Kakek sakit—ah, Kakek kan sudah tidak punya pacar. Kalau begitu, kuganti.

Andaikan pacarku sakit, maka aku akan memberinya semangat, mendampingi, dan merawatnya sampai sembuh. Aku melakukan sesuatu untuk membuatnya menjadi lebih baik. Itu karena aku mencintainya. Ketika tanah air ‘sakit’ dengan berbagai permasalahannya, maka orang yang mengaku cinta tanah air itu juga seharusnya melakukan sesuatu untuk membuat Indonesia menjadi lebih sehat kan? Bukan hanya mencemooh, menyindir, apalagi saling memaki di ruang sidang! Munafik, Kek.

Andaikan pacarku mengajakku ke toko buku, maka aku akan senang hati menemaninya meski aku bosan setengah mati. Itu karena aku mencintainya, Kek. Sama halnya ketika orang yang mengaku cinta tanah air dengan senang hati memilih datang ke museum kebudayaan daripada ongkang-ongkang kaki dan menghamburkan uang di mall sementara ratusan anak jalanan tidak setiap hari dapat mengunyah nasi.

Aku akan setia pada pacarku, meskipun ia memiliki banyak kekurangan. Tidak akan terpikir sedikitpun untuk memutuskan dia meskipun banyak laki-laki lain yang lebih menarik. Itu kalau aku memang benar-benar mencintai dia apa adanya. Orang-orang yang benar-benar mencintai Indonesia pun akan tetap bertahan demi cintanya, bukannya justru meninggalkan Indonesia demi negara lain yang lebih rupawan dan menghamba di sana.

Cinta yang sebenar-benarnya cinta adalah yang mampu membuat kedua pihak menjadi lebih baik. Ini tidak kutemukan di Indonesia, Kek. Lihatlah, masyarakat justru membuat tanah airnya menjadi lebih buruk. Mereka membuang sampah sembarangan. Dan ketika Indonesia memberi keburukan pada mereka melalui banjir dan tanah longsor, masyarakat mengamuk. Masyarakat menghambur-hamburkan BBM, dan ketika Indonesia memberi kelangkaan BBM, masyarakat juga mengamuk. Masyarakat menghidupkan televisi semalam suntuk, dan ketika tarif listrik naik demi mencegah kelangkaan, mereka mengamuk lagi. Ya ampun, Kek, aku hidup di negara gila macam apa ini? Orang-orang mengamuk karena tingkah mereka sendiri!

Aku tidak ingin munafik, Kek. Ada banyak alasan membuat kadar benciku pada tanah air lebih besar daripada kadar cintaku. Lihat artis yang menjual tubuhnya untuk masuk ke panggung politik. Lihat tabung gas hijau yang kini bisa dijadikan senjata para teroris, atau satpol yang kini bisa menembak rakyat dengan mudah. Lihat mahasiswa yang katanya berpendidikan tapi hobinya tawuran. Lihat koruptor kelas atas yang bahkan bisa facial di rumah tahanan. Lihat mobil polisi yang seharusnya berpatroli tapi malah mengawal pawai motor-motor raksasa membuat kemacetan di jalan. Lihat kanan kiri radius seratus meter, dan hitung berapa masalah yang muncul.

Aku memang tidak mengharapkan negara ini akan bebas seratus persen dari kesulitan—sangat mustahil. Tapi aku benar-benar kesal, Kek, luar biasa kesal dan gemas karena tiap hari muncul masalah nasional yang berkaitan dengan ketidakbecusan orang-orang di dalamnya. Bisa jadi termasuk aku sendiri, aku mengakui. Pemerintah tidak becus menjalankan amanah rakyat, tapi rakyatnya pun tidak becus melakukan perannya sebagai rakyat. Sungguh lingkaran setan yang menyesatkan.

Kakek tahu, satu keinginan terbesarku adalah meninggalkan negara ini, pindah ke negara lain yang lebih hebat, yang lebih pintar, dan lebih teratur.

Ya, ya, aku tahu kakek akan mengataiku tidak bertanggung jawab. Memang benar, tindakan itu bisa dikatakan menghindari masalah, dan bukan menghadapinya. Tapi apa yang bisa kulakukan, Kek? Aku sudah belajar giat, nilai-nilaiku menjadi bukti. Aku bersedekah, mendoakan seluruh rakyat Indonesia dalam ibadahku. Aku selalu memasang bendera merah putih saat perayaan kemerdekaan. Aku membayar pajak, aku tidak pernah mencuri, aku menaati rambu lalu lintas, aku membuang sampah pada tempatnya, aku ikut berbagai kegiatan bersama untuk berbagi dengan mereka yang membutuhkan, aku menulis di kolom-kolom surat kabar tentang keprihatinanku pada negeri, tapi semua tidak menghasilkan apa-apa, Kek! Anak-anak jalanan itu masih tetap tidur di trotoar, sementara rekening petugas penegak hukum yang agung justru makin menggelembung.

Ibaratnya aku seperti semut kecil di tengah kawanan gajah, yang meski pakai pengeras suara sebesar apapun, suaraku tetap tak akan terdengar. Aku berusaha mengajak kawan-kawan semutku untuk berteriak bersama-sama agar bisa terdengar lebih keras. Tapi mereka lebih memilih memanjat naik ke tubuh sang gajah, kemudian berbisik lirih di telinga gajah dan membiarkan sang gajah yang melolong. Kawan-kawan semutku terlalu malas untuk mengeluarkan tenaga untuk berteriak, mereka memilih cara yang mudah, cepat, instan, dan hasilnya lebih besar.

Aku marah pada mereka, tapi aku lebih marah pada diriku sendiri karena tidak bisa melakukan apa-apa.

Oh, aku lelah menyaksikan surat kabar makin hari makin tebal dengan berita-berita murahan. Aku ingin pergi, Kek, ke suatu negara yang orang-orangnya bisa berpikir waras. Oke, aku tahu itu, Kek. Maksud Kakek, setiap negara punya kelebihan dan kekurangan masing-masing kan? Seharusnya aku bersyukur hidup di negeri yang berbudaya ini kan? Aku tahu. Tapi, kenapa kita tidak bisa mencontoh kelebihan dari negara lain? Bukannya sesuatu yang baik itu seharusnya dicontoh, iya kan, Kek? Negara ini terlalu buta dan tuli untuk bisa menyadari bahwa kita butuh contekan dari negara lain. Negara kita terlalu sombong dan merasa superior karena sumber daya alam dan budaya yang diagung-agungkan. Tapi mana nyatanya, Kek? Dengan mudahnya hasil budaya kita direnggut bangsa lain. Bahkan beras pun kita harus impor. Sungguh memalukan.

Lalu aku harus apa, Kek? Apa yang bisa dilakukan oleh semut kecil sepertiku untuk mengubah padang rumput ini menjadi nyaman? Aku bukan orang yang cinta tanah air, Kek, tapi aku ingin mencintai tanah airku. Aku ingin mencintai tanah airku hingga aku bisa merasakan betapa meruginya mereka yang tidak dilahirkan di Indonesia. Cinta memang tidak bisa dipaksakan, tapi bisa dipelajari. Ajari aku bagaimana cara mencintai tanah airku sendiri, Kek. Ajari aku bagaimana aku dapat menumbuhkan rasa bangga menjadi orang Indonesia. Ajari aku bagaimana agar aku dapat meneteskan air mata haru saat aku menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.”

“Cucuku, kenapa kamu melelahkan dirimu untuk menghitung domba, sementara kamu bisa tertidur dengan mudah? Kenapa kamu melelahkan diri untuk bicara panjang lebar pada Kakek yang sudah renta ini, sementara kamu bisa dengan mudah melakukan sesuatu yang lebih berharga dari ini? Kenapa kamu melelahkan diri mengkritik mereka yang tidak becus, padahal kamu tahu mereka terlalu bodoh untuk berubah? Kenapa kamu melelahkan diri untuk memikirkan rasa takut akan gagalnya tindakanmu, padahal kamu belum pernah mencobanya sama sekali?”

0 Response to "Maaf, Saya Belum Bisa Mencintaimu, Indonesia.."

Post a Comment